Eksotisme Batik Papua
BATIK memang mendarah daging di Pulau Jawa. Namun, dengan booming batik beberapa tahun lalu, batik melanglang ke seluruh penjuru Nusantara, termasuk menyelusup ke Papua.
Berbeda dengan batik khas Jawa Tengah yang berlatar gelap atau batik pesisir yang penuh warna-warni, batik Papua memiliki ragam hias berbeda. Bila pada umumnya ragam hias motif batik merupakan simbolisasi tradisi, di Papua motifnya justru diadaptasi dari produk budaya khas daerah tersebut.
Ramli, desainer yang telah lama bergelut dengan batik Papua, mengatakan, kontras dengan batik Jawa yang merupakan saripati tradisi keraton, batik Papua hadir lebih kontemporer.
“Motifnya diambil dari bentuk alat musik Papua, seperti tifa atau dari binatang-binatang yang ada di sana seperti kadal dan cendrawasih,” tutur Ramli.
Dia mengatakan, batik Papua kini sudah jauh lebih terekspos dibandingkan saat pertama kali muncul pada tahun 1985. Ketika itu pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan dari The United Nations Development Programme (UNDP) untuk pemberdayaan kebudayaan di daerah Indonesia timur.
“Sekarang peminat batik Papua sudah banyak, tapi harganya masih mahal karena batik Papua kebanyakan adalah batik tulis, bukan cetak,” kata Ramli.
Ramli bukanlah satusatunya desainer yang menggarap batik Papua. Di Kota Jayapura -kini menjadi sentra batik Papua- cukup banyak pelaku mode yang berusaha mengembangkan batik Papua. Salah satunya Jimmy Hendrick Afaar yang menggelar fashion show di ajang Festival Papua 2011 di Pacific Place, beberapa waktu lalu.
Adapun Festival Papua 2011yangmengangkat tema “Warna-Warni Papua” tersebut merupakan bentuk kepedulian sosial dari PT Freeport Indonesia. Pria yang memulai usaha batik pada 21 April 2007 tersebut tidak hanya ingin memperkenalkan batik Papua, juga batik Port Numbay yang merupakan nama lain dari Kota Jayapura.
“Desain batik asal Port Numbay punya keunikan tersendiri, baik dari segi motif maupun pewarnaan yang masih menggunakan teknik pewarnaan alami,” ungkapnya.
Jimmy mengatakan, perbedaan utama batik Papua dan batik Jawa terletak pada motif. “Papua punya banyak suku sehingga kami bisa menjadikan beragam motif batik yang unik. Setiap suku memiliki keunikan yang dapat diceritakan dalam sehelai kain,” papar Jimmy.
Dia juga berharap lewat batik, Papua lebih bisa dikenal. “Meski kita tahu, batik sangat banyak di Jawa,” imbuhnya.
Usaha Jimmy berbuah manis. Dia tidak hanya sukses memasarkan batik Papua ke Jakarta dan Surabaya, namanya pun telah terdengar hingga Eropa. Juni mendatang, Jimmy diundang melakukan pameran di Italia. Karena itu, wajar jika Jimmy terus berusaha meningkatkan kualitas batik produksinya. Dia “berguru” batik ke Pekalongan dan bahkan belajar mendesain dari Poppy Dharsono.
Sementara, para perajinnya pun tak ketinggalan terus dilatih dengan mendatangkan pelatih batik dari Yogyakarta, juga mengirimkan para pekerjanya ke pusat pelatihan batik di Pulau Jawa. Kini Jimmy telah memiliki 15 karyawan dengan kapasitas produksi batik per bulan sebanyak 2.000 helai batik cap dan 16 helai batik tulis berbahan katun dan sutra. Harganya antara Rp200.000 sampai Rp 2,25 juta per helai.
Adapun di atas catwalk Pacific Place, Jimmy menghadirkan koleksi yang terbilang memikat. Batik Papua diolahnya menjadi koleksi bergaya couture, dengan Arzeti Bilbina sebagai model utama. Siluet kebaya, one shoulder,mermaid, hingga gaun malam bernapas flamenco dihadirkan Jimmy. Tidak hanya gaun, Jimmy juga menghadirkan batik Papua sebagai stola atau cape.(nsa)
Sumber: http://lifestyle.okezone.com/read/2011/05/11/29/455683/eksotisme-batik-papua
Berbeda dengan batik khas Jawa Tengah yang berlatar gelap atau batik pesisir yang penuh warna-warni, batik Papua memiliki ragam hias berbeda. Bila pada umumnya ragam hias motif batik merupakan simbolisasi tradisi, di Papua motifnya justru diadaptasi dari produk budaya khas daerah tersebut.
Ramli, desainer yang telah lama bergelut dengan batik Papua, mengatakan, kontras dengan batik Jawa yang merupakan saripati tradisi keraton, batik Papua hadir lebih kontemporer.
“Motifnya diambil dari bentuk alat musik Papua, seperti tifa atau dari binatang-binatang yang ada di sana seperti kadal dan cendrawasih,” tutur Ramli.
Dia mengatakan, batik Papua kini sudah jauh lebih terekspos dibandingkan saat pertama kali muncul pada tahun 1985. Ketika itu pemerintah Indonesia mendapatkan bantuan dari The United Nations Development Programme (UNDP) untuk pemberdayaan kebudayaan di daerah Indonesia timur.
“Sekarang peminat batik Papua sudah banyak, tapi harganya masih mahal karena batik Papua kebanyakan adalah batik tulis, bukan cetak,” kata Ramli.
Ramli bukanlah satusatunya desainer yang menggarap batik Papua. Di Kota Jayapura -kini menjadi sentra batik Papua- cukup banyak pelaku mode yang berusaha mengembangkan batik Papua. Salah satunya Jimmy Hendrick Afaar yang menggelar fashion show di ajang Festival Papua 2011 di Pacific Place, beberapa waktu lalu.
Adapun Festival Papua 2011yangmengangkat tema “Warna-Warni Papua” tersebut merupakan bentuk kepedulian sosial dari PT Freeport Indonesia. Pria yang memulai usaha batik pada 21 April 2007 tersebut tidak hanya ingin memperkenalkan batik Papua, juga batik Port Numbay yang merupakan nama lain dari Kota Jayapura.
“Desain batik asal Port Numbay punya keunikan tersendiri, baik dari segi motif maupun pewarnaan yang masih menggunakan teknik pewarnaan alami,” ungkapnya.
Jimmy mengatakan, perbedaan utama batik Papua dan batik Jawa terletak pada motif. “Papua punya banyak suku sehingga kami bisa menjadikan beragam motif batik yang unik. Setiap suku memiliki keunikan yang dapat diceritakan dalam sehelai kain,” papar Jimmy.
Dia juga berharap lewat batik, Papua lebih bisa dikenal. “Meski kita tahu, batik sangat banyak di Jawa,” imbuhnya.
Usaha Jimmy berbuah manis. Dia tidak hanya sukses memasarkan batik Papua ke Jakarta dan Surabaya, namanya pun telah terdengar hingga Eropa. Juni mendatang, Jimmy diundang melakukan pameran di Italia. Karena itu, wajar jika Jimmy terus berusaha meningkatkan kualitas batik produksinya. Dia “berguru” batik ke Pekalongan dan bahkan belajar mendesain dari Poppy Dharsono.
Sementara, para perajinnya pun tak ketinggalan terus dilatih dengan mendatangkan pelatih batik dari Yogyakarta, juga mengirimkan para pekerjanya ke pusat pelatihan batik di Pulau Jawa. Kini Jimmy telah memiliki 15 karyawan dengan kapasitas produksi batik per bulan sebanyak 2.000 helai batik cap dan 16 helai batik tulis berbahan katun dan sutra. Harganya antara Rp200.000 sampai Rp 2,25 juta per helai.
Adapun di atas catwalk Pacific Place, Jimmy menghadirkan koleksi yang terbilang memikat. Batik Papua diolahnya menjadi koleksi bergaya couture, dengan Arzeti Bilbina sebagai model utama. Siluet kebaya, one shoulder,mermaid, hingga gaun malam bernapas flamenco dihadirkan Jimmy. Tidak hanya gaun, Jimmy juga menghadirkan batik Papua sebagai stola atau cape.(nsa)
Sumber: http://lifestyle.okezone.com/read/2011/05/11/29/455683/eksotisme-batik-papua
Motif Batik Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar